Review Film Pengabdi Setan (2017) - Horror Indonesia



Sebelum kumulai reviewnya, kuakui saja bahwa jujur menurutku untuk sebuah film horror Indonesia yang dulu kuhindari karena maksud horrornya semakin tidak karuan, kupikir film ini termasuk titik awal yang membangkitkan semangat lebih banyak orang untuk menghasilkan film horror yang 'bagus'. Setidaknya dulu pernah ada masa kejayaannya, ketika film horror begitu diminati karena begitu mengusung aspek lokal hantu Indonesia hingga lama kelamaan bumbunya jadi sama saja dan bosan.

Kemudian mulailah di beberapa tahun belakangan ini judul film horror Indonesia jadi sekadar film 'hantu' saja, horrornya sudah tidak tahu lagi kemana. Judulnya saja sudah banyak yang vulgar, nggak tau deh isinya. Makannya aku, untuk film horror Indonesia, udah nggak inget bener deh kapan terakhir kali nonton.

So, buat aku film ini bikin kita bernafas lega, karena setidaknya muncul lagi film horror yang tidak melupakan aspek horror dari filmnya sendiri, yang bukan melulu tentang 'hantu gentayangan'.

Secara pribadi, film-film yang hanya mengandalkan kisah hantu gentayangan, hantu dendam karena di hidupnya dia nggak tenang, bagiku sudah terlalu kuno. Pemikiranku tentang hantu sudah lama berubah, memang jadinya lebih ke arah bahwa bukan hantu tapi jin yang menyerupai manusia. Memang, pada dasarnya kan manusia yang sudah mati tidak ada urusannya lagi di dunia. Pilihannya adalah surga atau neraka.

Jadi, aku cukup puas dengan film ini. Memang belum termasuk kalau dibedah lebih dalam tentang beberapa hal, tapi menurutku film ini berhasil maju dengan pedenya sebagai salah satu pelopor mengembalikan maksud dari 'film horror Indonesia'.

Tokoh utama di film ini, mungkin bukan hanya si Rini saja ya, tapi keempat anak yang ditinggalkan ayah mereka tak lama setelah kematian Ibu mereka. Aku sih, rada kesel aja, tuh ayah ngapain juga sih pergi? Keberadaannya memang seperti sengaja 'dikeluarkan' sejenak dari cerita agar keempat tokoh disini bisa eksplor sendiri kengerian di rumah itu. Keberadaan nenek juga tidak terlalu matang, dan kemunculannya di film ini agak tidak penting, kecuali ketika tahu bahwa dia ternyata punya cukup andil dalam memahami kisah Ibunya ini.

Aku suka banget sama Toni, sejak awal dia maju sebagai sosok kakak dan adik yang sayang keluarga dengan sikapnya yang bagiku, sangat natural. Ia ceria, tetapi ia masih 16 tahun. Kurasa si Toni berhasil membuatku sangat menantikan keterlibatannya dalam cerita, terutama ketika ia secara ekspresif menyampaikan pikirannya. Ya ketakutan, sedih, sayang, senang... He's so lovely boy, man.

Kedua adalah Ian. Kalau orang lain mungkin Ian duluan sih ya, tapi aku Toni duluan deh. Baru setelahnya Ian. Wah, si Ian ini beneran deh, likable banget. Sejak kemunculannya untuk pertama kali, tokoh Ian memang sangat nggak mungkin dibenci. Dia masih kecil, bisu, dan polos. Jiwa anak-anaknya mungkin yang paling menarik simpatiku sehingga di beberapa bagian aku berhasil dibuat menitikkan air mata, hingga berdoa untuk keselamatannya.

Baru setelah itu Rini dan Bondi masuk deretan berikutnya. Rini duluan, karena dia memang sejakawal dimaksudkan sebagai tokoh utama, meskipun eksplorasi karakternya tidak terlalu nampak. Bondi sebenarnya cukup cocok disandingkan dengan Ian sebagai sepasang konyol, karena keduanya sering memunculkan situasi yang bagiku berhasil membuatku tertawa berkali-kali. Aku suka sekali saat-saat itu. Dan mereka memang sepasang, kayak yang kemana-mana bareng, sehingga kekuatan kasih sayang Bondi ke Ian seharusnya justru lebih besar. Sayang, agak tidak tahu maksudnya ketika mendadak Bondi dibuat seolah kerasukan dan berubah, sifat 'kakak' dari dalam dirinya hilang sehingga karakternya jadi tidak terlalu tampak menarik selain sebagai patung 'kakak' saja. Walaupun akhirnya ia kembali sadar sih...

Memang Bondi diletakkan sebagai kunci karena Ian adalah fokus utama. Tetapi tokoh Bondi ini memang agak tidak konsisten. Dia di awal dibuat seolah akan membunuh Ian dan itu aku paham untuk apa. Tapi mungkin karena pengaruh bagian twistnya kali ya jadi agak tidak masuk akal adegan Bondi tampak kerasukan hingga nyaris membunuh Ian, bahkan Ian yang mau masuk sumur saja agak tidak masuk akal karena twistnya. (Edit: Kata temenku, dia punya persepsi lain yang menjadikan keberadaan scene ini masuk akal. Pertama, Bondi dibisiki neneknya yang sudah meninggal untuk membunuh Ian, yang memang si nenek ini tahu tentang si Ibu sehingga juga tahu bahwa Ian itu sebenarnya tidak apa jika dibunuh. Kedua, yang membuat Ian masuk ke sumur mungkin adalah neneknya juga yang memang sudah tahu kalau Ian dibunuh saja daripada keluarga inti ini hancur, karena si nenek sebenarnya kunci dari cerita ini. Si nenek menjadi simbol yang jarang muncul tetapi memiliki makna yang sangat krusial untuk mengerti keseluruhan alur. Film ini memang membuka banyak persepsi, dan mendengar persepsi dari temanku membuat kejeniusan dari Joko Anwar menjadi patut untuk diacungi jempol. Itu berarti memang benar bahwa setiap shot dalam cerita ini memang memiliki pemaknaan yang tidak bisa sekali paham saja)

Lupakan dulu masalah kejanggalan yang sebenarnya sangat gatal ingin kubahas setelah menonton film ini. Sepanjang filmnya sih, aku tidak fokus ke hal-hal tersebut, berusaha memahami puzzlenya dan mencari tahu siapa tahu ada bagian lain yang mencoba menjelaskan. Aku juga lebih mencoba menikmati, karena hey, ini film Joko Anwar gitu. Setelah ketinggalan modus anomali, trus tahu dia bikin film dengan judul yang secara pribadi langsung ingin kukaitkan dengan satanisme, ya aku berusaha untuk menikmati film ini.

Untuk menikmatinya sih tidak butuh usaha, karena aku memang menikmatinya. Mulai dari awal ketika tokoh Rini muncul, kemudian ketika perkenalan keluarga ini muncul, hingga kondisi Ibunya yang sakit dan horror banget itu, bahkan hingga meninggal. Aku terus-terusan dibuat merinding. Kondisi rumahnya sederhana sih, kalangan menengah, dengan tingkat tapi agak tidak terawat karena usia rumah. Ditambah aspek propertinya menang banget, buat aku yang belum lahir di tahun 1980 saja sudah berasa berada di tahun itu saat menonton filmnya.

Sejujurnya mudah sekali film ini membuatku berteriak karena takut, meringkuk, jaga-jaga kalau ada jumpscare. Sering banget aku dibikin tahan nafas karena menduga-duga, sampai rasanya capek hati. Bahkan hingga bagian yang kuanggap klimaks dan aku ingin ikut berpelukan bersama keluarga tersebut.

Tokoh Ian menang banget sih ya, jiwa kanak-kanaknya dia berhasil banget jadi memang agak nggak nyangka waktu plotnya jadi berubah arah, twistnya udah turning point Ian banget, walaupun aku terus-terusan merasa bersedih untuk jiwa Ian yang kecil dan polos itu. Perubahan di akhir juga berhasil bikin aku berjengit hanya karena ulah tokoh satu ini saja.



Jadi memang,  sepanjang film ini aku memang jarang berfikir, karena aku membiarkan diriku terombang-ambing dengan ketakutan di film ini dahulu, sebelum mencoba mencerna satu persatu bagiannya. Aku suka sekali dibuat berasa roller coaster, karena tensinya cepat, aku tidak mau ketinggalan momen-momen yang sengaja diciptakan untuk menciptakan teror. Makannya aku nggak suka nonton film horror sambil mikir, cukup mengambil garis besarnya dan pikirkan lagi nanti. At least, aku tahu dulu ceritanya akan berakhir seperti apa.

Makannya aku kalau disuruh muji film aku cepet, suruh ngritik sulit, karena buat akupun film ini cukup berhasil untuk membuatku lupa sama lubang-lubang dalam ceritanya. Setelah menonton, nah itu baru lama mikirnya.

Well, jadi setelah pengalaman terorku selama menonton film ini dan hingga aku berhasil dibuat teriak-teriak sampai akhir cerita sampai gak inget kapan nggak teriak, sebenarnya hanya ada dua poin penting yang bagiku ingin kusampaikan.

Pertama, ceritanya. Film horror baru-baru ini yang bikin aku pingin nonton memang lebih menarik yang ceritanya bekisar pada hal-hal berbau 'iblis'. Bukan ini ya, hantu gentayangan tapi menurutku evil itu lebih mengerikan dan kuat, sehingga menonton cerita-cerita yang isinya tentang mengalahkan evil selalu menarik minatku.

Katakan saja film insidious yang masih jadi film horror favoritku, atau film the exorcism. Cerita-cerita yang mengangkat tentang kekuatan jahat atau jiwa yang jahat, dan itu memang ada bahkan pada kenyataannya. So, film ini menarik untuk akhirnya mau kutonton juga karena itu. Cerita tentang pengabdian kepada setan. Menjual jiwa kepada iblis. Menjadikan Iblis semacam tuhan. Kelompok sekte iblis, sekte illuminati, entah apakah disebutnya itu sih di cerita ini, tapi kayaknya gak jauh dari maksud tersebut.

Dan sekte itu memang ada bahkan di Indonesia, tapi jarang yang diekspos untuk dijadikan materi sebuah film horror. Kan, film horror kita bekisar pada cerita hantu-hantu gentayangan gitu kan? Makannya sejak awal, waktu tahu judulnya saja aku udah pingin banget nonton.

Secara keseluruhan cerita, aku seneng banget karena gambaran 'kelompok' itu benar-benar bikin merinding, which is, it always does. Mulai dari awal banget film mulai, waktu si Ibu berdoa-doa tapi doanya tuh aneh banget, trus dari musik-musik lagunya yang merinding abis, sampe CD yang isinya kayak doa-doa perkumpulan. Dih, berhasil banget bikin aku merinding, foto-foto yang ditunjukin Toni, bahkan cerita Toni yang sering nemenin ibunya dari kecil. Trus juga, cerita-cerita tentang ritualnya itu memang selalu nggak manusiawi.

Film ini menghadirkan pesona sekte tersebut tanpa harus menghadirkan tempat dan orang-orangnya secara langsung, menurutku itu sudah berhasil.

Tetapi memang, harus aku akui bahwa ketika aku sudah menganggap cerita mencapai klimaks dan kukira sudah selesai, ternyata cerita diputar dulu, diberikan twist plot yang secara jujur bikin aku kaget. Memang agak mendadak perubahannya, tapi tetap tidak tertebak. Sama sekali aku nggak kepikiran ceritanya akan diakhiri seperti itu. Atau ternyata seperti itu. Tetap bikin aku tahan nafas, karena aku mulai tidak mengerti kemana arah cerita, dan sudah tidak berani untuk bertanya-tanya lagi. Aku menikmati perubahannya, tapi aku tetap bertanya-tanya tentang alasannya.


Kedua, pesannya. Aku berharap film ini akan fokus tentang kebaikan vs kejahatan, dimana kebaikan yang menang, harusnya. Sebenarnya itu rumus pakem sih, untuk menceritakan tetang sebuah kemunculan heroik dari kebesaran Tuhan, atau dari tokoh itu sendiri. Apalagi jika clue nya sudah disebut-sebutkan sejak awal seolah akan diaplikasikan sesuai dengan takarannya. Memang diluar ekspektasi, tapi jadi tidak heroik pesan dari film ini. Entahlah, apakah pemikiranku yang demikian terlalu konvensional, karena pesan di akhir memang jadi agak blur dan menyebalkan. Memasukkan unsur religius bagiku penting, dan butuh pertimbangan, sehingga sayang saja jika keberadaannya menjadi diabaikan.

Trus lumayan PHP juga sih. Untuk apa ditanyakan berulang kali tentang sholat (pertanyaan dari ustadz ke ayah dan ustadz ke Rini), untuk apa keberadaan 'ustadz' itu sendiri, atau untuk apa si ustadz seolah selalu menampakkan diri seperti akan menemukan jalan keluar. Padahal, pada akhirnya maksud-maksud penyampaian religius ini ternyata tidak digunakan dalam keputusan penting pada cerita, malah jadinya seperti sebuah tempelan yang tidak tahu dimana spot paling tepat untuk meletakkannya.

Keluarga Rini adalah beragama Islam, tapi memang tidak taat agama. Harapannya, keberadaan ustadz dan anaknya disini akan memberikan setidaknya jalan keluar secara religius kepada Rini sekeluarga, bahwa kebesaran terbesar adalah Tuhan. Memang disebutkan, tapi hanya sebagai sebuah wacana saja tanpa diterapkan secara praktek dalam ceritanya. Malah yang lebih ditekankan lebih kepada 'kasih sayang keluarga' daripada 'permintaan tolong kepada yang kuasa saat tidak bisa berbuat'.

Bukan berarti aku membayangkan ada adegan rukiah atau pengusiran setan dengan doa-doa sih, Sebenarnya, aspek drama keluarga saja sudah cukup, karena aku saja berhasil dibuat terharu dengan kekuatan keluarga ini. Clue-nya bisa lebih diarahkan mengenai kekuatan dari kasih sayang keluarga ini saja, tanpa perlu kita benar-benar paham apa agama mereka. Dan itu bisa saja diceritakan tanpa terlalu mengeksplor aspek agamanya.

Apalagi kalau memang di keluarga ini lebih banyak yang tidak percaya dengan sekte satanisme, dan hal-hal gaib lainnya, agak terkesan ateis sih karena masih mempertanyakan hal tersebut. Kalaupun ingin menekankan bahwa 'setan' itu ada, atau bahwa 'sekte pemujaan iblis' nyata, kupikir pengemasannya seharusnya lebih diarahkan kepada itu. Sehingga kita bisa merasa takut dengan 'iblis' tanpa mendegradasi kekuatan doa dan keimanan.

Kalau ingin tetap menekankan pesan di aspek religius, sebenarnya pemaknaannya sudah tepat di awal, dimunculkan wacana Tuhan untuk memperkuat iman. Tapi seharusnya, Tuhan juga diberikan tempat ketika mereka saling bahu membahu berusaha lari dari kejaran para setan. Misalnya, mereka ada waktu untuk merasakan dan menyadari bahwa Tuhan adalah kekuatan besar untuk seluruh alam semesta sehingga ketakutan mereka akan ditujukan oleh yang Maha Kuasa bukan kepada syaitan. Dengan begitu maksud dan pesan dari filmnya akan lebih lega diterima, termasuk kepada penonton, mungkin aku berharapnya wacana ini seharusnya bisa lebih meyakinkan kita pada keberadaan Tuhan. Bukannya dimunculkan tapi tidak digunakan.

Sedangkan disini malah agak dibalik, wacana kekuatan Tuhan-nya ada, tapi aplikasinya malah tetap syaitan yang paling kuat dan ditakuti. Seperti pada adegan sholat , dimana makna sholatnya sendiri jadi tidak berfungsi. Itu belum ditambah hal-hal religius lain yang jadi tidak berfungsi dalam inti cerita. Secara keimanan dan keyakinan, terutama untuk aku pribadi, itu agak menurunkan mood dan downgrade kepercayaan, takutnya setelah nonton film ini semakin takut sama syeitan padahal dalam 'agama' sendiri, Tuhan masih yang paling kuat dan seharusnya yang paling ditakuti, itu kan pakem tidak terbantahkan, seharusnya sih. Aku tidak pandai bicara soal agama, tapi keyakinanku selalu berteriak demikian, dan aku lebih lega dengan keyakinan tersebut.

Well, diluar poin yang aku sebutin tadi sebenarnya nggak ada masalah dari sisi teknik dan dramatiknya. Dramatiknya dapet banget, tensinya berhasil bikin jumpalitan dan teriak-teriak, yang mana itu adalah favoritku ketika menonton film horror. Ini mungkin tidak sempurna, tetapi tetap worth untuk dijadikan batu loncatan film-film horror indonesia yang lebih bagus. Kalau bicara tentang kausalitas, sebenarnya memang film-film horror barat yang seharusnya canggihpun masih punya banyak kekurangan di banyak bagian, sehingga film ini bukan berarti tidak dipikirkan dengan matang atau tidak well made. Untuk durasi film bioskop yang hanya sebentar, film ini menurutku tidak membosankan dan sangat memberikan pengalaman teror yang bikin teriak. Suka kok, aku tetep suka banget... Kalau rekomendasi menonton, iya, film ini film horror Indonesia yang wajib ditonton.

Oya, terakhir hal yang menarik waktu nonton film ini, ketika sudah selesai credit title nggak ada satupun penonton yang turun. Kurasa itu merupakan teknik bagi si pembuat untuk membuat penontonnya tetap duduk hingga credit title benar-benar habis, memang dipaksakan, tapi apresiasinya jadi lebih terasa juga. Dan aku suka dengan cara itu..


Salam, Adlina Haezah

Komentar