Ehm… kali ini aku akan membahas sebuah film yang cukup
terkenal, The Fault in Our Stars, dimana film ini sebenarnya tayang pada tahun
2014 lalu tapi sayangnya aku baru nonton hari ini. Okay, it’s my bad.
However,
better now than never, right?
Dan kali ini aku ingin mencoba merubah sudut pandang dalam
mereview film, karena beberapa alasan dan ini juga baik untuk latihan…. Yah,
mengingat dimana aku belajar saat ini kayaknya nggak bijak kalau aku
terus-terusan mereview dari sudut pandang yang terlalu subjektif. So, I will try it. Mungkin akan sedikit
berubah untuk film, tapi untuk novel belum ada rencana merubah caraku mereview.
God, I’m so fucking fussy, just lets
start right now.
The Fault in Our Stars merupakan sebuah film garapan Josh
Boone yang merupakan adaptasi dari novel berjudul sama yang ditulis oleh John
Meyer. Novel ini mendapat rating dan pembaca yang cukup banyak di goodreads,
sebuah komunitas review and sharing books, dan jika melihat dari respon
pembacanya, jelas buku The Fault in Our Stars menjadi worth untuk diangkat menjadi sebuah film. Untuk aku sendiri yang
suka membaca novel, sayangnya nggak berani untuk membaca versi novelnya
dikarenakan entah darimana I know it’s
not my cup of tea, jadi aku memutuskan hanya akan menonton versi filmnya.

Kalau dilihat dari judulnya, kelihatannya film ini akan
mengarah ke kisah drama yang menyedihkan, tapi sebenarnya aku mendapati bahwa
film ini justru menyenangkan. Bercerita tentang seorang gadis bernama Hazel
Grace Lancaster (Shailene Woodley) yang
menderita penyakit kanker dan telah menyebar ke paru-parunya saat ini, kemudian
ia bertemu dengan seorang cowok bernama Augustus Waters (Ansel Elgord) yang
juga memiliki sebuah penyakit kanker dengan jenis berbeda dari Hazel tapi
kanker yang dimiliki Augustus sempat membuat salah satu kakinya diamputasi.
Keduanya bertemu dalam sebuah kelompok pendukung yang di dalamnya berisikan
orang-orang dengan perjalanan yang sama dan ini sebenarnya mmebuat Hazel kesal
tetapi kemudian komunitas tersebut menjadi lebih menyenangkan setelah ia
bertemu dengan Augustus. Agustus sendiri adalah tipe orang yang ingin melakukan
hal besar agar dirinya diingat, berbeda dengan Hazel yang justru tidak peduli
apakah orang lain akan mengingatnya atau tidak karena ia membutuhkan orang yang
mengingatnya cukup orang-orang yang ia sayangi. Hazel memiliki sifat yang apa
adanya dan sangat menyadari seperti apa kondisinya, tidak memiliki banyak
teman, menjalani berbagai perawatan, dan minum obat setiap hari, tapi ia
menganggap hal itu sebagai hal yang normal baginya dan ia selalu menyadari
bahwa setiap orang akan meninggal pada akhirnya. Awalnya pertemuan Hazel dan Augustus didasari
oleh ketertarikan Augustus yang merasa Hazel sangat cantik dan akhirnya
percakapan keduanya membuat ketertarikan keduanya menjadi semakin intim.
Aku belum melihat versi bukunya, tapi dari apa yang sudah
aku perhatikan dari sebuah film yang mengadaptasi dari sebuah buku biasanya
tidak banyak yang bisa menghadirkan sebuah emosi yang kuat karena harus
berkutat dengan deskripsi dan dialog dalam novel sehingga ada keinginan untuk
mengeluarkan semuanya sekaligus dalam film, tapi tentu saja itu tidak mungkin.
Untuk perbandingan, belakangan ini aku menonton film Jepang yang beberapa
diadaptasi dari komik dan harus akui aku mendapati banyak bagian yang tidak
menunjukkan emosi yang kuat dan berakhir flat padahal jelas kalau sampai komik
itu difilmkan berarti ada kekuatan emosi yang harus diangkat. Yah, aku jelas
nggak bisa bilang kecewa sama film garapan Josh Boone ini karena aku sangat
menikmati semua adegan yang disajikan sang sutradara dan berhasil membuatku
mengikuti permainannya dalam meracik bumbu romansa dalam dua karakter yang
mengalami penyakit cukup parah.
Sejujurnya ketika aku tahu bahwa film ini bercerita tentang
seseorang yang memiliki sakit kanker, yang ada dipikiranku adalah kisah
haru-biru yang memaksa kita melihat perjuangan seseorang dalam menghadapi
penyakitnya dan perasaan orang-orang yang senantiasa di sampingnya untuk
memberikan dukungan. Kupikir aku akan
melihat banyak adegan rumah sakit, bersedih, meratapi hidupnya yang hanya
sebentar dan ingin membuat perubahan untuk detik-detik terakhir hidupnya. Kalau
kamu adalah sebagian orang yang berfikiran sama sepertiku, lebih baik
buang-buang pikiran itu karena film ini menyuguhkan pemandangan yang sangat
berbeda dengan apa yang ada dibayanganku.

Justru cerita ini membuat aku berfikir bahwa karakter yang
seharusnya ‘sakit’ malah tidak terlihat sakit sama sekali. Meskipun sepanjang
film kita akan melihat Shailene Woodley memakan selang oksigen tapi bukan
berarti kita akan melihat dirinya sedikit-sedikit kehabisan nafas karena selang
tersebut digunakan untuk menunjukkan bahwa Hazel memiliki alat bantuk untuk
menjalani kehidupannya sama seperti halnya seorang yang memakai kacamata. Hal yang sama berlaku untuk Augustus yang
sama sekali tidak seperti orang sakit dimanapun dan apapun keadaannya. Entah
kenapa aku mendapati semua adegan yang disajikan Boone disini tidak membuatku
khawatir akan adanya granat yang meledak, seperti pada film-film yang
mengangkat tema yang sama dimana kita akan terus khawatir kalau pemainnya
tiba-tiba sakit parah dan bisa jadi setengah film kita akan melihat karakter
ini terbaring di rumah sakit. Well, I
just watched that kind of movie, so I can’t make myself like that idea in
another movie.
Ah ya, bukan berarti adegan rumah sakit itu tidak ada… ada
memang, tapi tetap tidak membuatku khawatir atau takut, entah kenapa perasaan
yang ada ketika aku melihat adegan rumah sakit adalah… hanya ketulusan yang
disajikan secara lembut oleh karakter-karakternya. Aku begitu terbawa oleh
karakter Hazel Grace yang menganggap bahwa rumah sakit hanya sesuatu yang
biasa, bukan sesuatu yang menakutkan, dan bagaimana ia bahkan bisa tetap
berfikir logis untuk mengejar apa yang ia inginkan meskipun saat itu keadaannya
sama sekali tidak mendukung. Ketidaktakutan Hazel terhadap kematian dan rasa
sakit yang amat sangat mengajakku untuk tidak takut dengan apa yang akan
terjadi pula.
Kemudian film ini juga fokus kepada kisah cintanya, tidak
semerta-merta menjadikan penyakit sebagai sebuah penguat untuk romantisme yang
dihadirkan pasangan Hazel dan Augustus, tetapi sebuah sampingan dan pendukung
dari semua dialog yang dimunculkan disepanjang film, pikiran-pikiran cerdas Hazel
dari pengalamannya yang menderita kanker, kelucuannya, ketidakpeduliannya,
kemarahannya, sindiran, dan semangatnya yang membuat kisah ini menjadi begitu
indah. Hazel dan Augustus sangat mencintai satu sama lain, tetapi juga selalu
mengingatkan kita bahwa cinta mereka tidak akan berlangsung lama dengan
dialog-dialog cerdas Hazel dan Augustus yang membuat kita menjadikan waktu
keduanya bersama menjadi waktu untuk tidak memikirkan kehilangan satu sama
lain, bahkan kematian terkesan menjadi sebuah tempat yang tidak lagi
menakutkan.

Meskipun begitu, sebagai sebuah film, tentu saja kita
diwanti-wanti untuk menunggu akhir kisah cinta mereka yang sedih, dan film ini
mampu meletakkan klimaks itu dengan sangat indahnya. Aku sangat suka bagaimana
film ini dibangun dengan narasi dan sudut pandang Hazel dengan
kalimat-kalimatnya yang bercerita, membuat kita merasa tenang sekaligus
terhibur dari caranya bertutur. Semua adegan berjalan sangat mulus, bahkan
konflik-konfliknya pun diracik dengan halus sehingga tidak langsung membuat
kita kaget. Emm.. yah, dibilang kejutan memang film ini kelihatannya tidak mau
fokus dengan munculnya kejutan karena semuanya sudah dijelaskan di
adegan-adegan sebelumnya sehingga kita memang tahu apa yang akan terjadi nanti.
Meskipun begitu film ini, dengan keromantisannya dan harmonisasi kedua karakter
dan alurnya membuatku tidak bisa berhenti menontonnya. Semuanya terasa sangat
manis, bahkan ketika kejutannya akhirnya terkuak, memang tidak terlalu
mengejutkan tapi tetap membuatku meneteskan air mata. Ketika cerita menuju
klimaks yang diawali oleh penggawatan yang cukup jelas sekaligus tetap terasa
indah, film ini lagi-lagi membuatku menangis karena emosi setiap pemainnya.
Hazel dan Augustus selama ini selalu mencoba positif dan bersemangat, berani
dalam menjalani kehidupan mereka yang singkat, tetapi keduanya juga berbagi
rasa sakit yang sama dan mungkin itulah kekuatan utama dari film ini. Mungkin
karena keduanya sama-sama sakit, aku merasakan keduanya saling amat mengerti,
amat sangat mengerti satu sama lain, dan bahkan ketika mereka menangis
bersamapun aku bisa melihat betapa itu adalah hal yang mereka bagi satu sama
lain. Kalau hanya seorang yang sakit, mungkin aku tetap akan menganggapnya
sebuah cerita yang sad ending, tapi
ketika keduanya berada di jalan yang sama, mereka mengatakan kata ‘tidak adil’
kepada dunia untuk mereka berdua, bukan untuk salah satunya.

Film ini memiliki banyak nilai positif untuk memandang dunia
dengan berani apapun keadaannya. Meskipun memang penyakit menyebabkan hazel
tidak bisa melakukan hal-hal yang dilakukan anak normal pada umumnya, tapi ia
memiliki kebebasan yang merupakan pilihannya sendiri dan aku sangat menyukai
kebijakan yang diselipkan disana-sini dalam film ini. Terakhir, aku sangat
menyukai cara Hazel dan Augustus membuat keputusan untuk keduanya di akhir,
sebuah cara yang sangat indah seperti menjadi pembicara pemakaman. Awalnya
terdengar mengerikan dan mengenaskan, tapi sebenarnya itu merupakan cara yang
meskipun menyakitkan tapi sungguh sangat menyentuh untuk membuat keduanya
merasakan satu sama lain. Keinginan untuk menghilangkan segala kekhawatiran
untuk akhir hidup mereka. Oh, I really
love Hazel and Augustus….
Nilai: 4/5
Salam,
ADLN_haezh
Setelah menonton berkali, saya bahkan keberatan kasih nilai 3/5. Film ini kurang banget.
BalasHapushai thankyou for visiting this post!
Hapus