Gadis yang Kembali

Aku tetap diam tak bergeming mengikuti langkahnya entah kemana. Tetap tak berkelit meskipun ia menarik tanganku. Dave, begitu orang memanggilnya. Cowok keren, cakep, cool, cuek, dan pastinya dia adalah idola di sekolahku. Populer yang pastinya dikalangan cewek. Dan yang pasti ia memiliki tubuh cukup tinggi yaitu 174 cm. Tentu saja. Ia adalah seorang bintang basket. Dan sebuah keberuntungan aku bisa memilikinya meskipun terkadang aku harus sabar menemani cowok yang hobi diem itu.

Dave menghentikan langkahnya tepat di sebuah taman yang luas dengan hamparan rumput berwarna hijau, juga beberapa bunga yang tertanam di sekelilingnya. Aku mengikuti Dave yang mengambil tempat untuk duduk di sebuah bangku. Aku dapat menerka warna wajahnya yang menyiratkan sebuah kekesalah. Dan untuk siapa tentu aku tahu.

”Nyesel gue mampir ke rumah lo! Masa’ pagi-pagi kayak gini kakak lo dah pacaran sih!” umpatnya geram. Kakakku yang dimaksudnya tentu adalah kak Nico. Kakak semata wayang yang amat kusayangi. Seorang kakak yang sangat baik dan hebat. Tentu saja dalam bermain basketpun Dave tak lebih baik darinya. Masih jauh di bawah kak Nico.

”Apa lo nggak sama aja? Setelah lo tau kak Nico berduaan sama ceweknya, lo langsung narik gue kesini! Dasar!”

”Gimana lagi! Gue bosen di rumah! Dan cuma lo yang bisa gue ajak!” jawabnya singkat. Aku tak berkata apa-apa setelah itu. Aku hanya menunggu apakah ada sesuatu hal yang dapat mengantar kami ke sebuah mimpi hari ini. Mataku menerawang jauh. Memandang langit-langit biru yang cerah di atas. Mungkin ada sesuatu yang dapat kami temui hari ini. Misalnya bertemu anak kecil dan ternyata dia itu hantu. Eh! Nggak ding! Aku cuma bercanda. Yang aku butuhkan sekarang hanyalah sebuah tempat dimana Dave bisa bermain basket. Aku akan lebih memikirkan cowok itu, karena ia sudah jauh-jauh main ke rumahku.

Dalam lamunan panjangku itu.... aku mulai merasa bahwa rintik-rintik hujan mulai turun. Memalingkan pandanganku ke arah Dave yang juga mulai menyadari cuaca ini.

”Duh! Hujan nih! Kayaknya kita harus berteduh deh!” Aku mulai mencari-cari tempat yang dapat kami jadikan persinggahan sementara sebelum hujan semakin deras. Sayangnya kita masih terlalu jauh untuk kembali ke rumah. Sial! Dalam pencarianku itu, mataku mulai berhenti di suatu bangunan yang baru kusadari keberadaannya. Suatu tempat yang terlihat besar. Bisa dipastikan kalau itu adalah rumah. Bukan! Itu bukan rumah! Kalau di belakangnya itu baru rumah! Tapi bangunan besar itu terlihat seperti aula.

”Dave! Ikut gue!” Aku mengajak Dave ke tempat itu. Lumayan. Dari sini atapnya terlihat luas untuk tempat kami bersinggah sementara. Kami berhenti di tempat itu tepat saat hujan turun semakin deras.”Akhirnya...” Aku menghela nafas lega. Paling tidak, aku benar-benar tak basah karena hujan.

”Aneh ya! Pagi-pagi gini udah hujan! Sial banget sih!” gerutu Dave. Aku tak membalas ucapannya meski tau sebenarnya tak seluruh yang ia katakan adalah benar. Mana mungkin hujan pagi-pagi aneh! Ini kan emang lagi musim hujan! Gini nih! Orang yang lagi kesel. Semuanya jadi korban. Aku berpaling ke sebuah pintu besar yang berdiri di belakang kami. Dalam hati aku berfikir ini tempat apa ya? Karena itu aku berharap pintu ini tak di kunci. Aku pun membuka pintu tersebut. Sip! Nggak dikunci!

”Masuk yuk, Dave!” ajakku pada Dave yang sedari tadi hanya melihat awan yang mendung. Kami pun akhirnya masuk. Melihat sesuatu yang tak kami duga sebelum masuk kesini. Sebuah lapangan basket yang di dalamnya banyak anak-anak bermain disitu.

”Waaah!” Cuma itu yang keluar dari mulutku. Sebuah kekaguman. Bahkan aku tak menyadari ada tempat seperti ini di belakang komplek perumahanku. Akhirnya, aku bisa mengajak Dave ke tempat yang disukainya.”Beruntung ya kita bisa kesini!” lanjutku tersenyum pada Dave. Ia hanya membalas dengan segaris senyuman dan anggukan kecil.

”Selamat dataaaang!” Tiba-tiba saja sebuah suara memecahkan suasana kagumku. Aku berpaling ke arah suara itu. Seorang gadis kecil yang mungkin kini berumur 11 tahun itu berjalan ke arah kami. Gadis cantik, manis, dengan rambut panjangnya yang bergelombang, ditambah sebuah slayer yang ia pakai untuk menghiasi rambut indahnya tersebut. ”Senangnya ada yang berkunjung disini! Kenalin aku Vivi Vallerina pemilik lapangan ini. Tapi kalian cukup memanggilku Vivi. Dan rumahku ada disebelah!” Gadis itu menunjuk sebuah bangunan mewah. Tepatnya sebuah rumah yang tadi kulihat sebelum aku berada disini. ”Trus? Kakak-kakak ini namanya siapa?”

Aku tersenyum pada gadis kecil itu ”Namaku Diana, dik!” kataku memperkenalkan diri. Kemudian, aku berpaling pada Dave. Hei! Dia kok diem gitu sih? Mana yang dilihat bukan Vivi lagi! Aku segera menyenggol lengannya dan memberi kode padanya dengan mataku. Harusnya sih dia tau.

”Nama gue Dave!” Akhirnya ia memperkenalkan diri pada gadis manis itu. Aku tambah lega, karena ia juga menampakkan segaris senyum yang menyenangkan, tentunya.

”Kak, kita main yuk!” kata Vivi yang mengambil bola basket dan melemparkannya padaku. Aku segera menangkapnya dan mengikutinya ke tengah lapangan. Sedangkan Dave hanya mengikutiku dari belakang. Sebenernya sih aku nggak bisa main basket, tapi kalau untuk anak kecil sepertinya, mungkin nggak akan begitu menyusahkan untuk memperlihatkan kemampuanku dalam memasukkan bola.

Akupun men dribbel bola tersebut dan memasukkannya ke dalam ring. Yes! Berhasil! Kalau masalah memasukkan bola sih aku nggak pernah meleset. Yah! Kelemahanku cuma saat bertanding! Kalau merebut bola nggak usah tanya! Aku lebih memilih nyerah.

Tap

Eh? Dengan sangat cepat dan gesit Vivi menangkap bola yang baru saja kumasukkan ke dalam ring. Dengan senyum yang merekah di bibirnya, ia mundur beberapa langkah sampai di belakang lingkaran dan berhenti. Aku rasa sebentar lagi ia akan memasukkan bola dari situ. Tunggu! Jangan-jangan dia mau...

”Hup!” Dan masuk!!! Wow! Keren! Anak seperti dia bisa Tripoin dengan gesit. Kemampuan anak kecil itu memang cukup mengesankan. Bahkan aku saja tak pernah mencoba memasukkan bola dari sana. Aduh! Tiba-tiba saja tubuhku merinding! Aku pasti sangat malu kalau saja aku tak dapat mengalahkan gadis kecil itu. Akhirnya akupun mendekati Dave yang sejak tadi duduk di tepi lapangan. ”Dave! Anak itu hebat ya!” gumamku saat berada disampingnya. Ia tak bergeming mendengar ucapanku. Tapi ia terus memperhatikan gadis kecil yang berjalan ke arah kami berdua.

”Kak Dave! Kita tanding berdua yuk!” ajak gadis itu.

”Hei! Kamu jangan asal ngajak Dave ya! Dia nggak pernah kalah sama siapapun lho! Yaaah! Kecuali sama kak Nico! Jadi kamu jangan ngajak dia deh! Nanti kamu malah nangis lho!” jawabku sedikit sombong.

”Oh gitu! Kalau gitu aku mau bertanding sama kak Dave! Mau ya kak!” Gadis itu mulai menarik baju Dave. Tak lama kami menunggu jawaban Dave, akhirnya iapun mengangguk.

”Oke! Boleh aja!”

Vivipun tersenyum sumringah mendengarnya. Aku memilih diam dan duduk di sebuah bangku, memperhatikan mereka bermain. Tak beberapa lama, permainanpun dimulai! Yang kulihat saat mereka bermain sih! Dua-duanya sama-sama tangguh! Bahkan sampai setengah jam kemudian pun tak ada yang berhasil memasukkan bola dalam ring! Hebat! Padahal biasanya Dave bisa memasukkan 10 kali dalam 15 menit! Tapi sekarang, satupun tidak. Dan akhirnya setengah jam lagipun berlalu dan akhirnya mereka menyudahi permainan. Meski nggak sebanyak biasanya. Tapi paling tidak Dave bisa lebih unggul meskipun cuma 3 kali. Eh! Nggak gitu juga sih! Pantas saja Vivi kalah! Kalau untuk anak seumurannya, kalah 3 angka dari Dave adalah sebuah rekor. Aku bisa menduga seperti apa dia kalau sudah besar.

”Gadis itu bener-bener nggak biasa! Dia luar biasa!” kata Dave saat ia berhenti disampingku. Baru sekali ini dia mengakui kehebatan lawan sampai tak bisa berkedip seperti itu. Tapi mau gimana lagi! Aku juga tak akan mampu mengungkiri kalau gadis itu sangat luar biasa.

”Kak Dave nggak boleh pulang!” Suara itu memecahkan lamunanku. Aku segera memalingkan wajah ke arah gadis yang sudah berdiri di depan Dave. ”Pokoknya kak Dave nggak boleh pulang! Kak Dave harus terus disini nemenin Vivi!” kali ini ucapannya terdengar sedikit merengek. Pinter pinter manja juga ya? Yah! Dibilang gimanapun, anak kecil ya tetep anak kecil. Dasar.

Akhirnya aku maju menghadapinya ”Vivi, kita nggak bisa disini! Kita kan harus pulang!” ujarku lembut. Tapi dia malah menatapku sinis ”Aku maunya sama kak Dave! Aku nggak peduli sama kak Diana! Pokoknya aku maunya sama kak Dave!”

Sialan! Anak-anak sekarang pada asal ya!

”Tapi Dave nggak bisa disini, Vivi! Dia harus pulang! Ini bukan rumahnya! Kamu ngerti nggak siiiih?” Aku kembali menasihatinya. Tapi kali ini lebih kutekankan padanya.

”Iiiih! Kak Diana cerewet nih! Oke! Gimana kalau kita banyak-banyakkan masukin bola ke dalam ring! Siapa yang bisa mencetak angka paling banyak selama semenit, dia boleh bawa kak Dave!”

A.... Apa? Anak ini kok jadi nyebelin gini sih! Dasar egois!

”Hei! Mana mungkin Dave jadi taruhannya! Kamu mikir nggak sih?”

”Biarin aja! Pokoknya aku mau kak Dave nggak pulang!”

Ya ampun! Sumpah! Nih anak egois banget!

”Udah, nggak pa-pa kok!” Dave tersenyum pada kami. Senyum yang sangat ramah. Dia jadi keliatan tambah cakep. ”Tapi, Vivi...” Dave mulai merangkul pundakku lembut. Ini juga sesuatu yang sangat jarang dilakukan olehnya.”Kak Dave udah jadi milik kak Diana! Jadi, kak Dave nggak akan tinggal disini kalau kak Diana nggak ngijinin! Mungkin kamu nggak tau apa-apa. Tapi suatu saat, kamu bisa kok membawa seseorang seperti kak Dave!” Ucapan yang keluar dari mulutnya terdengar sangat lembut. Membuatku yakin kalau Dave benar-benar sayang padaku. Disisi lain aku berfikir ia hanya fokus pada saingannya, kak Nico. Tapi di depan gadis ini, ia terlihat sangat berbeda. Sama seperti saat ia nembak aku dulu. Aku memandang wajah Vivi yang terus saja cemberut memandangku. ”Kalau gitu, kak Diana juga harus disini!”

”Hah? Enak aja! Kak Diana juga nggak bisa disini, Vivi!”

”Kalau gitu kita terusin tantanganku tadi!!!! Pokoknya kak Dave harus disini!”

”Sana maju!” kata Dave mendorongku. Aku hanya menatapnya heran. Beneran dia mau jadi taruhan? Tapi, dia tersenyum padaku dan berbisik di belakangku ”Lo itu pinter nge shoot. Jadi.... satu menit untuk menerima tantangannya gue rasa itu bukan satu masalah. Ayolah! Lo itu bisa ngalahin seorang gadis kecil. Sehebat apapun dia, kalau kita udah bisa matahin semangatnya, kemungkinan dia juga nggak akan punya semangat untuk itu. Gue rasa... kata-kata tadi udah cukup untuk nambah semangat lo! Gue kan udah bilang kalo gue itu milik lo. Lo ngerti kan?”

Tiba-tiba saja dadaku bergemuruh. Ada perasaan senang mendengar apa yang di ucapkan oleh Dave. Seseorang yang telah menembus hidupku.”Oke, Vivi! Aku terima tantangan kamu!” Dan akupun maju untuk berhadapan dengan gadis itu. Dengan wajahnya yang pasti tetap cemberut dan mungkin marah itu, ia membawaku ke tengah lapangan. Dave mengikuti kami dari belakang.

”Biar gue yang hitung berapa kali kalian bisa masukin bola dalam semenit!” Dave mulai mengeluarkan HP-nya dan membuka fitur stopwatch.

”Kak Diana duluan! Aku mau liat kak Diana dulu! Paling juga cuma bisa masukin 15 kali!” katanya nyindir. Uuuh! Liat aja kehebatan seorang cewek yang selalu memasukkan bola paling banyak jika pelajaran olahraga di sekolah. Akupun mengambil bola basket dan mulai beranjak untuk memasukkannya.

”MULAI!” Dengan kemampuanku, kulemparkan bola itu masuk ke dalam ring. Aku yakin aku nggak akan lebih rendah dari lemparan Vivi. Selama ini aku selalu bisa diatas kawan-kawanku dalam memasukkan bola. Bahkan aku punya kecepatan lebih dalam melempar bola. Mungkin aku memang tak begitu tertarik dengan olahraga basket. Tapi kemampuanku dalam melempar bola, mungkin keturunan dari kak Nico yang punya kecepatan lebih baik dariku.

”STOP!” Aku menghentikan gerakanku. Aku tak tahu sudah berapa kali mencetak angka. Tapi pasti bukan 15 kali kan? Dave mendekatiku ”Empat puluh lima kali! Lo emang hebat ya?”

Aku mengangguk ”Iya dong! Dave!! Sekarang kita lihat kemampuan Vivi, oke?”

Akupun menyuruh Vivi ketengah lapangan hingga akhirnya ia berdiri disana. Dan permainan untuknya pun dimulai. Aku berharap ia tak mempunyai kecepatan sepertiku. Tapi siapa sangka! Ternyata gadis itu tak lebih buruk dariku. Bahkan kecepatannya menembak bola pun sama cepatnya sepertiku. Ya ampun! Aku nggak yakin dia itu benar-benar seorang gadis kecil. Apa tak cukup hebat kemampuannya?

”Vivi bisa masukin bola 45 kali! Dia seimbang sama lo!” kata Dave setelah menghentikan waktunya. Vivi berjalan ke arahku dan tersenyum ”Gimana?” tanyanya.

”Kita seri! Sekarang apa keputusanmu?”

Vivi termenung. Ia mengambil langkah ke sebuah bangku kosong. Aku dan Dave hanya mengikutinya dari belakang dan duduk disampingnya.

”Sebenarnya aku baru menyadari sesuatu. Meskipun nanti aku ada di atas kak Diana! Aku tetap saja tak bisa membawa kak Dave!” Vivi mulai membuka pembicaraan.

”Kalau begitu kenapa kamu ngajak aku tanding?”

Vivi kembali termenung ”Karena aku cuma pingin liat seperti apa kak Diana. Bagaimanapun aku meminta kak Dave kesini, pada akhirnya aku nggak akan selalu senang. Aku sadar kak Dave bisa kesinipun karena kak Diana kan?” Ia menatapku. Kurang lebih aku masih tak begitu mengerti apa yang ia ucapkan saat ini. Tapi aku terus mendengarkannya dengan cermat ”Lagipula aku memang nggak bisa menang kok! Dari awal kak Dave berkata bahwa kak Dave sudah jadi milik kak Diana, aku sudah kehilangan semangatku. Sehingga nilai yang kudapat itu bisa sama dengan kak Diana karena aku terbawa emosi. Sebenarnya... aku cuma nggak ingin kak Dave pergi, karena kak Dave satu-satunya orang yang dapat menyaingiku dengan seimbang.” Sekarang aku melihat air matanya mulai berlinang ”Selama ini.... aku nggak pernah dapat saingan yang seimbang. Dulu... waktu umurku 4 tahun, mama dan papa sudah mengajariku menggiring bola kesana-kemari. Sampai tubuhku semakin tinggi dan kehebatanku dalam bermain basket benar-benar tak tertandingi. Kak Davelah yang bisa memojokkan aku!” jelasnya panjang lebar.

”Kenapa nggak orang tuamu aja?”

”Mana mungkin! Aku butuh seorang teman. Bukan mama dan papa. Lagipula.... mereka tak mau menemaniku...” ucapannya tercekat. Membuatku semakin bingung dengan kalimat-kalimat yang terlontar dari mulutnya. Hanya saja.... ada sesuatu yang terlihat dari sorot matanya. Sebuah kenangan dalam hidupnya dan aku yakin itu sangat berarti.”Kak Dave dan kak Diana nggak suka ada disini ya?”

”Tentu saja kami suka berada disini! Bertemu gadis sehebat kamu! Dan itu adalah suatu kebanggaan. Tapi.... semua yang kamu inginkan tidak harus selalu terpenuhi kan?” Dave memegang pundak gadis itu dan tersenyum.

”Vivi tau kok kak! Jadi.... untuk pertemuan kita yang terakhir, Vivi mau bermain dengan kalian!”

”Hei! Ini bukan yang terakhir, Vivi! Kami akan sering bermain kesini!” kataku menghibur. Vivi tak menjawab. Ia hanya tersenyum tipis. Ada sedikit kesedihan terpancar disana. Tapi segera kubuang semua perasaan aneh itu. Karena kita akan bermain sekarang.

”Yuk!”


”Fuh! Capeknyaaa!” Aku mengusap keringat yang bercucuran. Hah! Kita benar-benar bermain hebat hari ini. Meski terkadang aku cuma jadi obat nyamuk karena tak dapat merebut bola yang Dave maupun Vivi bawa. Tapi ini benar-benar seru.

”Nih, kak minumnya!” Vivi memberi ku dan Dave segelas air dingin. Aku tak sadar kalau ia baru keluar dari rumahnya. Tapi biarlah! Aku segera menyeruput minuman itu. Tanpa terasa pula pagi telah menjadi siang. Untung aja aku udah mandi.

”Diana, kita pulang!” ajak Dave yang kemudian beranjak dari duduknya.

”Pulang?”

”Iyalah! Ini udah jam setengah satu tau!”

Akupun ikut beranjak dari dudukku dan pamit pada Vivi ”Ya udah! Kita pulang dulu ya, Vi!?

”Main ke sini lagi ya, kak?”

”Tentu!”

Dan akupun mengikuti Dave yang sudah berjalan menuju pintu keluar. Tapi lagi-lagi suara gadis kecil itu membuatku berpaling ke arahnya. ”Kak Diana!!”

”Apa lagi?”

”Semoga kakak bahagia dengan orang-orang yang menyayangi kakak ya? Aku tau kok, kak Diana cukup sempurna untuk memiliki seseorang seperti kak Dave!” Dengan senyum yang tetap menghiasi wajahnya, ia menasihatiku. Tapi aku tak merasa dia jauh lebih tahu. Aku senang ia bersikap dewasa. Aku tersenyum padanya.”Diana! Cepetan! Gue udah laper nih!” Dave berteriak dari ambang pintu. Dan akupun segera menyusulnya ”Dah dulu ya! Daaa?” Setelah melambaikan tangan dan menyusul Dave, aku tak lagi menengok ke belakang. Aku tak akan mau memahami ucapan Vivi yang seakan berkata bahwa ini pertemuan terakhir kita.

”Sekarang kita pulaaang!” Aku mendorong punggung Dave seolah kita sedang bermain ’ular naga’. Aku terus tersenyum disepanjang perjalanan kami ke rumah. Hari minggu seperti ini Dave selalu main ke rumah seharian penuh dengan kak Nico. Jadi, rumahku udah dia anggap rumahnya sendiri, seperti saat ia berkata ”Hari ini kita makan apa?” kata-kata itu terlontar dari mulutnya sedetik setelah aku memikirkannya.

”Terserah bi Minah dong! Lo cuma tinggal dapet aja!”



Aku duduk menikmati pisang goreng berlapis keju yang dibuatkan bi Minah. Sesekali kak Nico maupun Dave datang dan mencomot pisang goreng itu, kemudian mereka kembali bermain di lapangan yang terbilang kecil di halaman rumahku. Tentu saja kegiatan memasukkan bola basket.

”Ngomong-ngomong kalian tadi kemana? Kok kencannya lama banget?” tanya kak Nico setengah menggoda. Oya, rumahku itu sepi soalnya mama dan papa masih di luar kota. Jadi walaupun kak Nico pacaran di rumah pun, nggak akan ada yang tahu.

”Lapangan basket!” jawabku singkat

”Lapangan basket?”

”Menghidari dua orang yang lagi sibuk pacaran! Lo tau nggak sih kalo terkadang sifat lo tuh bikin orang kesel” timpal Dave sambil mendribbel bola.

”Hei, jangan gitu dong! Lo kesini sepagi itu ya mana gue tau!”
Aku hanya mengernyitkan dahi memandang Dave yang masih punya stamina untuk main basket.”Dave! Lo nggak capek main basket terus? Tadi kan kita udah main basket sama Vivi lama banget!”

Dave terus fokus pada bolanya dan tetap tak memandangku. Aku hanya tahu kalau kak Nico duduk disampingku dan meminum jus alpukat kesukaannya.

”Emang lo nggak ngerasa?” Dave mulai menjawab

”Ngerasa apa?”

”Sejak tadi kita main, tapi semenjak keluar daroi ruangan itu, gue ngerasa kayak nggak ngelakuin aktivitas.”

Aku kembali berfikir. Hmm... bener juga sih! Meskipun udah 4 jam berlarian, tapi semenjak sampai rumah, aku ngerasa staminaku kembali. Hanya saja, aku nggak berminat untuk meneruskan bermain basket di rumah. ”Iya ya!”

”Dari tadi kalian ngomongin stamina, Vivi, basket, ruangan, apaan sih?” tanya kak Nico yang mulai penasaran. Aku memalingkan wajah kearahnya.

”Tadi pagi, aku sama Dave kehujanan, dan secara nggak sengaja kita nemuin sebuah ruangan yang ternyata adalah lapangan basket. Dan kami menunggu hujan reda disana,” kataku mulai bercerita ”Lalu kita ketemu sama seorang gadis kecil yang umurnya sekitar 11 tahunan. Kakak tau nggak? Dia jago banget lho main basket! Kapan-kapan aku manu ngajak kak...”

”Vivi? Jangan-jangan yang kalian maksud itu Vivi Vallerina ya? Seorang gadis yang punya bakat memainkan bola basket dan satu-satunya gadis yang memiliki lapangan basket di dalam ruangan sekitar komplek ini?” terka kak Nico setelah memotong kalimatku barusan.

”Ah, iya! Vivi Vallerina! Kok kak Nico tau? Jangan-jangan kak Nico pernah main kesana ya?”

”Justru itu! Aku malah heran kalau kalian ketemu dan main sama si Vivi itu! Kalian nggak mungkin kesana kan?”

”Lho kenapa? Kita emang ketemu dia kok!”

”Gue yakin lo tau sesuatu ya, Nic?” Dave datang mendekatiku dan menyeruput jus jeruk miliknya, kemudian ia duduk di samping kak Nico. Kami sama-sama menunggu kak Nico bercerita sekarang.

”Vivi Vallerina. Disini dia emang seorang gadis yang sangat berbakat dalam bermain bola basket. Sampai-sampai ia tak tertandingin. Kalau saja dia masih ada, dia pasti akan menjadi seorang kakak yang hebat untukku. Bahkan aku sendiri sudah pasti tak dapat menandinginya! Sayangnya kejadian itu terjadi.”

”Maksud kak Nico apa sih? Diana jadi nggak ngerti! Kenapa dia disebut kakak? Dan kejadian apa yang kak Nico maksud?”

”Saat itu Diana masih berumur satu tahun. Dan gue sendiri juga cuma diceritain nyokap!” Kak Nico mulai menarik nafas panjang sebelum ia bercerita ”Hari itu adalah hari ulang tahun Vivi yang kesebelas tahun. Dan dihari itu, Vivi mengadakan sebuah kompetisi untuk orang-orang yang dapat mengalahkannya. Tapi dia tak mendapatkan saingan seimbangnya itu. Ia mencari seorang teman yang dapat mengalahkannya. Vivi merasa sangat jemu kalau ia menjadi kuat sendiri. Sayangnya, sebelum ia benar-benar mendapatkan itu, lilin-lilin ulang tahunnya, melalap habis seluruh isi rumahnya. Dan semua orang di dalamnya meninggal hari itu juga,” jelas kak Nico mengakhiri kalimatnya.

Aku tak tahu apa yang terjadi. Tapi tubuhku terasa beku dan aku seakan tak dapat bergerak mendengar apa yang dikatakan kak Nico. Rasanya jantungku jadi tak terkontrol, dan darahku seperti berdesir sampai ke ujung kepala, sesudah kak Nico benar-benar mengakhiri kalimatnya ”Kejadian itu sudah berlangsung 15 tahun yang lalu!”

Aku sudah tak dapat menahan lagi. Aku tak dapat mendengar sesuatu yang baru kusadari sekarang.

”Vivi! Kamu mau kemana?” Suara itu masih terdenger samar memanggilku ketika kakiku sudah berlari menjauhi rumah. Menuju ke sebuah tempat yang aku yakin tempat itu masih ada. Masih ada gadis di dalamnya dan itu yang kuharapkan. Semua pikiranku hanya terarah kepada hidup seorang gadis yang bahkan sudah kuanggap adikku sendiri. Adik yang cantik, manis, hebat. Nggak mungkin dia udah meninggal? Nggak mungkin tadi hanya mimpi! Sebab aku sangat merasakan keberadaannya disana. Jadi nggak ada yang harus mengatakan bahwa tempat yang kusinggahi dua jam yang lalu. Mana mungkin ini hanya mimpi di dalam hujan. Mana mung....

Tap

Perlahan langkahku terhenti. Sampai aku yakin bahwa aku tengah berdiri di depan sebuah bangunan. Tubuhku bergetar hebat begitu saja. Rumah itu hampir semuanya hangus. Bekas-bekas terbakar masih menempel disitu. Warna putih cerah yang tadi masih kulihat 2 jam yang lalu berubah menjadi hitam. Daun dan berbagai macam barang berserakan dasana. Tempat itu serasa sebuah gudang, sampah, yang tak terawat. Mengerikan. Masa’ sih tadi aku ke tempat ini? Tapi kuberanikan diriku untuk melangkah menuju sebuah ruangan yang kuanggap itu adalah sebuah ’Lapangan Basket’. Dengan hati-hati, aku membuka pintu ruangan itu dan saat kulihat di dalamnya. Aku merasa kakiku kram. Aku dapat mengerti kalau yang dikatakan kak Nico tadi bukanlah bualan belaka. Bahkan degup jantungku belum kembali seperti semula. Kini sosok ’Lapangan Basket’ itu berubah menjadi buih-buih sampah yang sudah tak dapat di kembalikan lagi. Ring yang tadi menjadi tempatku memasukkan bola kini menjadi patah dan atap-atap itu terlihat sangat lapuk. Beberapa serpihan kayu berhamburan. Dan aku masih ingat tempat yang tadi kududuki. Kini hanya tinggal potongan kayu tak berarti. Tunggu! Ada sesuatu yang memancing perhatianku. Tiga buah gelas yang berdiri tegak dekat potongan bangku itu, membuatku merasa bahwa ada satu kenyataan yang benar-benar terjadi disini. Ada keyakinan bahwa itu adalah gelas yang kami pakai untuk minum tadi. Setelah cukup menguatkan diri, aku mendekati 3 gelas itu dan kuambil salah satunya. Benar-benar masih baru. Itu terlihat dari sepercik air yang menggenang di dalamnya. Jangan-jangan....

”Sebenernya tadi kita bener-bener ketemu sama Vivi.” Suara itu mengalihakan pikiranku saat kulihat cowok itu merebut gelas yang kubawa.

”Dave?”

”Mungkin selama 15 tahun ini, dia menunggu seseorang disini. Menunggu seseorang yang mungkin dapat mengalahkannya. Ia masih menunggu hadiah ulang tahunnya, dan itu kita. Dia pasti senang kita bermain ke sebuah tempat yang dalam kenyataannya tak akan ada orang yang sudi datang kesini. Lo nggak perlu sedih! Kita udah nolongin orang lho meskipun terlambat 15 tahun!” Dave kembali menyimpan gelas itu ke tempat asalnya ”Biarlah gelas-gelas ini tetap disini untuk bukti bahwa dia datang lagi kesini dengan sosok tetap seorang gadis kecil!”

Aku melihat mata Dave menerawang jauh. Menembus pilar-pilar yang sudah lapuk. Aku memejamkan mata sejenak. Mencerna apa yang tengah diucapkan olehnya. Mencari makna dari pengalaman kami hari ini.

”Lo bener, Dave! Nggak ada yang perlu kita jadikan beban! Justru kita telah menolongnya. Mencapai apa yang ia inginkan meskipun terlambat. Tapi walaupun begitu, dia pasti tersenyum sekarang!” Aku kembali menyapu ruangan itu. Samar-samar aku melihat seseorang yang tersenyum ceria! Bermain basket dengan senangnya. Ya. Seorang Vivi.

Hembusan angin yang menerpa kami dalam perjalanan pulang, menyiratkan senyum seorang gadis di balik awan. Senyum kelegaan untukku, dan tentu saja untuk Dave juga. Vivi. Semoga kamu bahagia disana. Doa kami selalu menyertaimu.

”Hei! Gue baru ingat sama si Vivi. Harusnya kan kita manggil dia dengan sebutan ’kak’ kan? Selisih umur kita dengannya terlalu jauh,” kata Dave saat kami tengah berjalan menuju rumah. Aku memandangnya dari belakang.

”Hah? Lo bahkan nggak pernah manggil kak Nico dengan sebuatan ’kak’”

”Dia beda! Kalau Nico nggak akan pernah!”

”Jahatnyaaaa! Halooo! Ada adiknya yang merasa tersinggung disini!”

”Gue nggak nyuruh lo tersinggung!”

Aku menatap punggungnya dengan pandangan kesal dan cemberut. ”Ngomong-ngomong.... lo ngapain nyusul gue kesini?” Dave menghentikan langkahnya sejenak dan berbalik menghadapku. ”Mana mungkin gue ninggalin adik saingan gue! Ntar kalo ada apa-apa, gue bisa berurusan sama kakak lo itu lagi!” Dan ia pun kembali berjalan di depanku. Aku tersenyum. Rasanya aku ingin sekali menggandeng tangannya itu. Ia jarang berkata ramah. Tapi setiap kata yang keluar dari mulutnya, selalu membuatku senang. Aku berlari mengejarnya. ”Dave!!!” Ia pun berbalik.

”Hup!” Aku berhasil menggenggam tangannya. Dave hanya melemparkan pandangan heran padaku. ”Lo ngapain sih?” Aku hanya menggeleng ”Nggak! Cuma pingin aja!” jawabku sambil menggandengnya berjalan. Tapi ia menggantikan gandenganku dengan rengkuhan hangat di pundakku. Hei! Nggak semua cowok cool itu selalu cuek lho. Kadang-kadang ia justru membuat kita merasa senang. Hal itu terjadi dengan cowok yang ada di sampingku. Kak Vivi (boleh kan mengatakannnya!) Aku harap aku bisa benar-benar berbahagia dengan orang yang menyayangiku.

The End

Komentar